Perpustakaan pada umumnya hanya menyimpan koleksi berupa bahan fisik (buku, majalah, jurnal, dll) atau dapat dikatan merupakan perpustakaan konvensional, yang hampir seluruh pelayanan yang diberikan kepada pengguna secara langsung. Perpustakaan konvensional masihlah ada saat ini terkhusus di perpustakaan-perpustakaan yang mimiliki dana yang minimum, akan tetapi berbeda dengan perpustakaan-perpustakaan yang memiliki dana yang cukup untuk dapat mengikuti perkembangan-perkembangan teknologi saat ini. Segala koleksi yang dimiliki oleh perpustakaan ini sudah berbentuk digital dan seluruh koleksi fisiknya sudah tidak ditampilkan lagi, perpustakaan seperti ini merupakan perpustakaan digital.

Perkembangan teknologi saat ini menyebabkan hampir semua layanan koleksi fisik berubah menjadi koleksi elektronik tetapi tidak dengan pengguna perpustakaan ini sendiri. Perilaku pengguna yang tidak semua menyukai dan mengikuti teknologi lebih menyukai koleksi yang berbentuk fisik.Oleh sebab itu pustakawan berinovasi dengan menggabungkan 2 jenis yaitu perpustakaan konvesional bagi pengguna yang lebih menyukai koleksi bentuk fisik dengan perpustakaan digital bagi pengguna yang senang dengan kemudahan dan kecepatan informasi dan membentuk perpustakaan hibrida (perpustakaan hybrid). Istilah perpustakaan hibrida pertama kali dikemukakan oleh Chris Rusbridge dalam artikel yang dimuat dalam di D-LibMagazine pada tahun 1998. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan suatu perpustakaan yang koleksinya terdiri atas bahan cetak dan bahan non cetak. Salah satu gara yang paling aktif dalam melakukan penelitian guna mewujudkan perpustakaan hibrid ialah Negara Inggris. Terlihat dalam D-Lib Magazine edisi oktober 1998 terdapat 5 proyek Inggris yang mencoba mewujudkan menciptakan perpustakaan hibrida

1) HyLife(hybrid Library of the future) Proyek ini berusaha mendirikan, menguji, mengevaluasi, serta menyebarkan sekitar teori dan praktik perpustakaan hibrida yang terdiri atas layanan lektronik dan cetak. Proyek ini dikembangkan di University of Northumbria yang menfokuskan diri dalam hal nonteknologi untuk memahami bagaimana cara terbaik mengoperasikan perpustakaan hibrida. Salah satu hasilnya adalah Hybrid Library Toolkit, yang berisikan panduan mengenai langkah implementasi bagi perpustakaan-perpustakaan yang ingin mengembangkan jasa elektronik sesuai dengan kebutuhan.

2) Malibu (Managing the hybrid Library for the Benefit of Users). Proyek ini memfokuskan diri pada pengembangan model institusi untuk organisasi dan layanan perpustakaan hibrida. Malibu didirikan oleh tiga lembaga yaitu King’s College London, University of Oxford, dan University of Southamton, yang mengembangkan perpustakaan hibrida dalam kajian humanities. Proyek ini menarik sebab juga melibatkan pemakai untuk membuat skenario sistem yamg memudahkan dalam melayani pemakainya. Malibu memfokuskan pada pengembangan model institutsi untuk suatu organisasi dan manajemen layanan perpustakaan hibrida.

3) HeadLine (Hybrid Electronic Access and Delivery in the Library Networked Environment)

Proyek ini dikerjakan oleh London School of Economics, The London Business School, dan The University of Hertfordshire. Proyek ini bertujuan mrerancang dan mengimplementasikan model perpustakaan hibrida dalam dalam lingkungan akademik yang nyata. Pproyek ini bereksperimen dengan lingkungan jasa informasi personal alias Personal Information Environment dengan mengembangkan portal yang memungkinkan pemakai perpustakaan mengakses informasi elektronik maupun nonelektronik secara terintegrasi.

4) Builder (Birmingham University Integrated Library Development and Electronic Resource)

Dikembangkan di University of Birmingham, bertujuan untuk mempelajari dampak perpustakaan hibrida terhadap pemakai di perguruan tingi, mulai dari mahasiswa serta dosen yang mengajar di sana, serta pengelola perpustakaan sendiri.

5) Agora, membangun sistem manajemen perpustakaan hibrida ( a hybrid library management system /HLMS) merupakan konsorsium yang terdiri atas University of East Anglia, UKOLN, Fretwell-Downing Informatics, dan CERLIM (the Centre for Research in Library and Information Management) dengan konsentarsi pada Hibrid Library Management System. Perhatian utama dalam proyek ini adalah pengembangan sistem informasi berbasis pada konsep search, locate, request, an deliver.

Dari temuan di atas akhirnya para Pustakawan dan para ahli teknologi berkolaborasi mengembangkan suatu konsep perustakaan hibrida yang tetap mempertahankan koleksi tercetak, dan digital secara terintegrasi tanpa harus meniadakan salah satunya.

Bila dibuat tabel akan seperti berikut :

 

Koleksi Layanan SDM Sarana dan Prasarana
Koleksi terdiri dari 2 jenis yaitu koleksi buku dan koleksi elektronik Memadukannya cara lektronik dan non elektronik, contoh katalog sudah menggunakan software (OPAC) dan layanan sirkulasi masih tatap muka Masih menggunakan pustakawan yang dapat mengoprasi komputer dan juga pustakawan yang ahli dalam pelayanan teknis Membutuhkan sarana dan prasarana perpustakaan yang mendukung tujuan perpustakaan hibrida yaitu berbasis cetak dan non cetak

 

Jadi, untuk memfasilitasi 2 jenis pengguna perpustakaan, pustakawan harus dapat berinovasi dengan menggabungkan keduanya dalam satu perpustakaan. Karena tidak sedikit pengguna yang masih meragukan ke otentifikasi an dan informasi sampah yang dapat dengan mudah beredar di dunia digital. Tetapi pustakawan juga perlu untuk mengembangkan koleksi perpustakaan karena pada saat ini terdapat koleksi yang mungkin hanya akan digunakan bila menggunakan teknologi saat ini seperti e-journal, e-book, e-magazine dll. Contoh PerpustakaanUPI Bandung

DAFTAR PUSTAKA

Prasetyo Eko, Hybrid library.Surabaya : Kompasiana. 2012 melalui tautan :

http://www.kompasiana.com/prasetyo_pirates/hybrid-library_551859eca333118407b66381 (2 maret 2017 pada 11 : 03)

Iskandar. Perpustakaan Hybrid. Makasar : univesitas hasanudin.2016

Sulistyo-Basuki. (1993). Pengantar ilmu perpustakaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.